ETIKA PENELITIAN 3

Prinsip Etika Penelitian Kesehatan

              Dalam pembahasan sebelumnya sudah disinggung tentang prinsip menghormati (respect), berbuat baik (beneficence)/ tidak membahayakan subyek (non-maleficence/ do no harm) dan adil (justice).  Setiap peneliti kesehatan harus memahami dan taat pada prinsip-prinsip tersebut dalam merencanakan dan menjalankan suatu penelitian. Hal ini dapat dinilai dalam proposal/ protokol penelitian  yang dikembangkan. 1–3

Etika penelitian baru diatur pada tahun 1947 dalam Nuremberg Code, namun prinsip-prinsip tersebut sudah disampaikan oleh filsuf-filsuf ternama seperti Socrates, Plato, Aristotle sebelum Masehi. Lebih lama lagi para Nabi dan Rasul serta para alim ulama dalam mengajarkan akhlak juga mengajarkan prinsip menghormati, berbuat baik dan adil. Begitu juga ketika para founding parents merumuskan dasar negara sudah memasukkan ketiga prinsip tersebut dalam sila-sila Pancasila terutama sila ke-2 dan ke-5. Hal ini menunjukkan bahwa sifat manusia yang baik adalah ketika ketiga prinsip tersebut disamping prinsip-prinsip kemanusiaan lainnya harus dibawa dalam kehidupan sehari-hari, termasuk peneliti kesehatan ketika melakukan penelitian.4

Prinsip-prinsip etika penelitian kesehatan2–4:

  1. Respect (menghormati)

Dalam suatu penelitian kesehatan, peneliti perlu memberikan kebebasan kepada subyek penelitian untuk menentukan yang terbaik bagi dirinya dan menghormati martabat orang lain. Tidak diperkenankan memaksa, memberikan iming-iming (seperti hadiah, uang yang besar dll), terutama pada kelompok rentan seperti tahanan, anak-anak, orang tua, orang dengan gangguan jiwa, tentara dll. Maka perlu dipastikan dengan baik bahwa keikutsertaan subyek dalam penelitian adalah sukarela.

Subyek berhak mengundurkan diri baik kapanpun tanpa perlu memberikan alasan. Apabila ketika penelitian berjalan, peneliti menemukan adanya hal yang dapat mengganggu keamanan subyek ataupun penelitian menjadi tidak bermanfaat jika dilanjutkan, maka peneliti perlu segera menghentikan penelitian.5

  • Beneficence (berbuat baik) dan non-maleficence (tidak membahayakan)

Peneliti harus menjelaskan dengan jujur apa saja risiko dan manfaat apabila subyek ikut serta dalam penelitian. Apabila penelitian melibatkan produk seperti obat, vaksin, jamu, tindakan medis maka dengan jujur dijelaskan efek produk pada penyakitnya dan efek samping apa saja yang mungkin ditimbulkan. Peneliti juga harus mempunyai kompetensi di bidangnya. Penelitian klinis harus dilakukan oleh dokter atau professional medis lainnya, penelitian terkait gizi harus dilakukan oleh ahli gizi dan lainnya. Untuk penelitian terkait uji klinik (obat, vaksin, tindakan medis) peneliti harus sudah lulus dan mempunyai sertifikat cara uji klinik yang baik (CUKB)/ good clinical practices (GCP).

Penelitian dianggap tidak memenuhi kaidah etika apabila manfaat yang didapatkan lebih sedikit dibandingkan risiko. Misalnya suatu uji klinik obat A (obat hipertensi baru) menurunkan tekanan darah 3 mmHg lebih cepat dibandingkan obat B (obat standar). Obat A diberikan melalui suntikan sedangkan obat B diminum. Maka risiko dari pemberian melalui suntikan lebih besar (risiko infeksi, alergi akan lebih cepat muncul, menimbulkan rasa nyeri di tempat suntikan, bisa menimbulkan keloid) dibandingkan risiko pada obat yang diminum (alergi muncul lebih lambat, mual, muntah). Maka penelitian obat A tidak etis apabila dilanjutkan.

  • Adil (justice)

Prinsip adil dalam uji klinis dapat berupa kesetaraan obat uji. Artinya obat uji dan obat yang digunakan sebagai standar harus mempunyai efektifitas yang setara. Apabila obat uji diketahui lebih baik dari obat standar, maka prinsip adil tidak terpenuhi. Pada penelitian bukan uji klinis pengamatan pada kelompok yang satu harus sama dengan kelompok yang lain. Misalkan pada penelitian kasus control, peneliti mengamati kasus lebih lama dibandingkan pengamatan pada control maka prinsip adil tidak terpenuhi.

Prinsip dalam penelitian kesehatan harus dipegang teguh oleh seluruh peneliti maupun non-peneliti yang melakukan penelitian bidang kesehatan seperti mahasiswa, tenaga medis dll. Dengan bertumpu pada etika penelitian, maka ide-ide liar yang bisa menimbulkan bahaya pada subyek penelitian dapat dihindari.

Daftar pustaka:

1.         Commission E, Stirton R. European Textbook on Ethics in Research and Syllabus on Ethics in Research. Vol. 7, Research Ethics. 2011. 74–75 p.

2.         National Health Research Ethics Council (NHREC). Guideline on principles, processes and structures on ethics in health research. 2015;67.

3.         Kemenkes. Pedoman dan Standar Etik Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Nasional. Kementeri Kesehat RI [Internet]. 2017;1–158. Available from: http://www.depkes.go.id/article/view/17070700004/program-indonesia-sehat-dengan-pendekatan-keluarga.html

4.         Londan BU. Research ethics handbook: philosophy, history and theory. 32015;

5.         National Health Research Ethics Council (NHREC). Ethics in Health Research: Principles, Processes and Structures – 2015. Encuentro. 2010. p. 55–66.

Etika Penelitian 2

Persetujuan Setelah Penjelasan (PSP)/ informed consent (IC)

Setiap orang yang menjadi subyek penelitian (bukan obyek) harus bebas menentukan apakah akan setuju atau tidak ikut dalam penelitian. Agar dapat membuat keputusan, subyek dipastikan telah memahami tujuan penelitian dan proses penelitian yang akan dijalani oleh subyek. Penjelasan mengenai penelitian dicantumkan dalam lembar naskah penjelasan. Peneliti boleh menjelaskan mengenai penelitian kepada subyek namun tidak boleh membujuk secara berlebihan (seperti mengiming-imingi sesuatu), memaksa maupun mengintimidasi. Penjelasan disampaikan secara tertulis dalam naskah penjelasan, secara singkat dan menggunakan Bahasa awam (bukan Bahasa medis yang tidak dimengerti subyek). Setelah dipastikan subyek paham, apabila subyek setuju, maka subyek memberikan persetujuannya serta menadatangani lembar persetujuan.  Apabila subyek tidak setuju maka subyek dipersilahkan untuk menolak. Proses ini dilakukan secara sukarela baik oleh subyek maupun peneliti. Pengambilan PSP harus selesai sebelum penelitian dilakukan. 1,2

              Penelitian yang melibatkan manusia sebagai subyek akan berada dalam pengawasan Komisi Etik (KE). Umumnya lembaga-lembaga yang terkait dengan penelitian kesehatan seperti Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes), Universitas-Universitas yang memiliki Fakultas Kedokteran/ Keperawatan/ Kesehatan Masyarakat  memiliki KE. Komisi Etik akan sangat memperhatikan PSP dan proses pengambilannya. Persetujuan setelah penjelasan dapat diabaikan apabila dalam kondisi sebagai berikut:1

  1. penelitian tidak akan layak atau tidak dapat dilaksanakan,
  2. penelitian memiliki nilai sosial yang penting dalam kedaruratan; dan
  3. penelitian tidak menimbulkan lebih dari risiko minimal untuk peserta. Ketentuan tambahan mungkin berlaku ketika penelitian dilakukan dalam konteks tertentu.

Dalam KE selain berisi para ahli-ahli di bidang kedokteran dan kesehatan, dalam kepengurusannya juga melibatkan orang awam yang biasa disebut lay person. Lay person merupakan orang yang dalam keseharian dan profesinya tidak terkait dengan kedokteran dan kesehatan contohnya seperti guru, insinyur, pedagang dan lainnya. Dengan adanya Lay person maka akan ada masukan dari sudut pandang masyarakat. Termasuk hal-hal yang terkait dengan kondisi lokal masyarakat (agama, budaya, kebiasaan, Bahasa dan lain sebagainya). 1,3

Dalam pengambilan PSP peneliti harus bisa menghormati subyek. Ada 3 prinsip menghormati yang harus dipegang yaitu menghormati kehendak pribadi (respect for autonomy), martabat (respect for dignity) dan orang (respect for person). Selain prinsip menghormati juga harus memenuhi prinsip berbuat baik (beneficence) dan keadilan (justice). Jadi seorang peneliti harus menghormati, berbuat baik dan memperlakukan subyek penelitian dengan adil. Bagaimanapun, subyek sudah sukarela ikut dalam penelitian. Subyek yang satu harus mendapat perlakuan yang sama dengan subyek yang lain. Tidak dipengaruhi siapa, jabatannya apa, perbedaan suku, agama, ras maupun golongan. Semua mendapatkan perlakuan yang sama. Berbuat baik dalam arti tidak menyakiti atau berbuat hal-hal yang dapat menimbulkan bahaya bagi subyek (do no harm). Bahkan seharusnya memberikan perlindungan bagi yang rentan (tahanan, anak-anak, tentara, orang dengan gangguan jiwa dan lainnya).  1–3

Hal-hal terkait pelaksanaan penelitian, perlakuan yang akan didapatkan oleh subyek harus tercantum dengan jelas di dalam PSP. Sebuah penelitian yang memenuhi kaidah etik harus mencantumkan hal-hal sebagai berikut:1

  1.  Ada Persetujuan Setelah Penjelasan (Informed Concent)

Untuk memastikan bahwa subyek setuju mengikuti penelitian, subyek membubuhkan tandatangan di lembar yang telah disediakan. Apabila subyek tidak bisa tanda-tangan dapat digantikan dengan cap jempol atau coretan dengan disaksikan oleh orang lain di luar tim peneliti (bisa keluarga, tetangga, petugas kesehatan yang bukan tim peneliti dll). Subyek anak yang belum bisa mengambil keputusan sendiri, pasien tidak sadar, orang dengan gangguan jiwa dapat diwakili oleh keluarga yang merupakan wali sah (orang tua, saudara sekandung, istri/suami dll), anak berusia 12 tahun ke atas dianggap sudah mamppu membuat keputusan untuk dirinya sendiri. Oleh karena itu tetap dimintai tanda-tangan dan juga tanda-tangan wali yang sah sekaligus dalam lembar yaitu assent form.

  • Ada penggantian biaya transport dan kehilangan waktu kerja

Subyek penelitian akan melakukan serangkaian kegiatan yang tentunya memakan waktu. Oleh karena itu harus diberikan kompensasi berupa transport dan penggantian waktu yang hilang. Kompenssasi ini diberikan dengan jumlah yang layak namun tidak berlebihan. Misalnya subyek diwawancara selama 3 jam, maka perlu dihitung seandainya dalam 3 jam tersebut rata-rata orang menghasilkan Rp. 200.000, maka penggantian waktu yang hilang dalam rentang Rp. 200.000-300.000 ribu dapat dianggap wajar, namun bila diberikan Rp. 1.500.000 maka dapat dianggap tidak etis karena merupakan iming-iming agar mau mengikuti penelitian.

  • Ada pernyataan kerahasiaan dan dalam mengambil data/wawancara dipertimbangkan privasi subjek

Setiap subyek harus dijaga kerahasiaannya. Baik keikutsertaannya maupun data yang diberikan oleh subyek. Dan dalam lembar “naskah penjelasan” pernyataan mengenai kerahasiaan subyek, bagaimana cara menjaga kerahasiaan tersebut, penyimpanan data, cara menjaga keamanan data dan berapa lama data disimpan. Bila sudah selesai dalam kurun waktu tertentu bagaimana pengelolaaan data, apakah terus disimpan atau dimusnahkan harus dicantumkan dengan jelas.

  • mempunyai Nilai sosial dan Nilai klinis

Sebuah penelitian yang baik akan mempunyai nilai bagi orang banyak. Sebuah penelitian dengan metodologi yang baik kadang kurang mempertimbangkan aspek klinis dan social. Penelitian kesehatan yang dilakukan sebaiknya mempunyai luaran klinis yang dapat bermanfaat dan juga mempertimbangkan aspek social masyarakat yang menjadi target penelitian. Misalnya penelitian di Bali maka penelitian tidak dilakukan di saat hari raya Nyepi, bila dilakukan di daerah yang mayoritas Muslim, maka produk yang digunakan harus berlabel halal, di beberapa daerah penelitian juga perlu izin dari pemuka adat dan agama setempat. Sedangkan nilai klinis dapat berupa, cara diagnosis yang baru, model penatalaksanaan penyakit yang lebih baik, obat yang lebih efektif dll.

  • Mempunyai Nilai Ilmiah

Penelitian harus mengikuti cara/ metodologi penelitian kesehatan yang baik sehingga hasilnya akan baik. Penelitian yang perencanaannya buruk maka hasilnya akan buruk juga (garbage in, garbage out). Proses pengambilan data baik berupa wawancara, pengambilan sampel, pemeriksaan lainnya harus dijelaskan secara singkat dan tepat dengan Bahasa awam. Misalnya akan dilakukan wawancara selama kurang lebih 2 jam, pengambilan sampel darah dengan cara menusuk ujung jari tengah kiri sebanyak 2-3 tetes, dilakukan pemeriksaan usap dengan memasukkan kapas lidi ke dalam hidung sepanjang sekitar 5 cm (satu jari telunjuk dewasa). Bahasa dalam PSP tidak diizinkan menggunakan Bahasa medis (kalau sulit dihindari harus menyertakan definisinya). Misal pemeriksaan patologi anatomi (pengambilan sedikit jaringan/ bagian tubuh untuk diperiksa di bawah mikroskop). Informasi mengenai perlakuan pada sisa sampel apakah akan disimpan atau dimusnahkan juga harus diinformasikan kepada subyek.

  • Ada Pemerataan Beban dan Manfaat yang jelas diantara subjek penelitian

Beban dan manfaat yang dirasakan oleh setiap subyek penelitian harus sama.

  • Manfaat lebih besar daripada Risiko.

Contoh penelitian yang menghasilkan produk: Obat atau vaksin baru, dan pengembangan IPTEK Kesehatan (novelty)

Daftar Pustaka:

1.         Kemenkes. Pedoman dan Standar Etik Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Nasional. Kementeri Kesehat RI [Internet]. 2017;1–158. Available from: http://www.depkes.go.id/article/view/17070700004/program-indonesia-sehat-dengan-pendekatan-keluarga.html

2.         Commission E, Stirton R. European Textbook on Ethics in Research and Syllabus on Ethics in Research. Vol. 7, Research Ethics. 2011. 74–75 p.

3.         MRC. Ethics in Health Research: Principles, Structures and Processes. Heal (San Fr. 2004;97(850):1–67.

Etika Penelitian 1

1. Sejarah

Etika merupakan sebuah prinsip moral yang mengatur perilaku seseorang. Tanpa etika, maka seseorang dapat berbuat semena-mena dan berpotensi mencelakai orang lain. Seorang peneliti kesehatan dalam melakukan penelitian terikat dengan etika. Etika mengikat baik peneliti maupun penelitian yang dilakukan. Dalam penelitian kesehatan etika merupakan salah satu inti dan proses penelitian diawasi oleh komisi etik.

Bagi pencinta novel, salah satu novel yang dikarang oleh Dan Brown berjudul “Inferno” (Neraka) dapat memberikan gambaran salah satu tindakan peneliti yang melanggar etika. Dalam novel tersebut diceritakan seorang peneliti nyentrik yang dengan pikirannya mengkhawatirkan jumlah populasi manusia yang semakin banyak. Si peneliti berinisiatif mengembangkan virus yang akan membuat separuh penduduk dunia mengalami kemandulan (infertilitas) sehingga jumlah penduduk dunia akan berkurang setengah di setiap generasi. Peneliti tersebut menjadi buronan dan diketahui meninggal dunia. Namun sebelum meninggal sudah menyiapkan agen untuk menyebarkan virus yang dibuatnya. Kemudian setelah berbagai intrik, si agen yang juga jenius direkrut oleh World Health Organization (WHO) untuk bergabung memperjuangkan kesehatan umat manusia di dunia.

Apakah cerita novel tersebut terjadi juga di dunia nyata? Sejarah mencatat beberapa penelitian yang dianggap melanggar etika dan moral. Kebanyakan dilakukan oleh NAZI di masa berkuasa, diantaranya:1,2

  1. Edward Jenner (1796)

Edward Jenner merupakan tokoh terkenal yang sangat berjasa dalam menemukan vaksin cacar (smallpox) sehingga saat ini dunia sudah mencapai eradikasi penyakit cacar. Eradikasi dapat diartikan sebagai nol kasus secara permanen atas usaha manusia. Namun untuk menemukan vaksin cacar, Jenner telah melakukan hal yang melanggar etika yaitu menyuntikkan kuman cacar sapi kepada anak berusia 8 tahun untuk menimbulkan antibody di dalam tubuh anak tersebut. Saat ini apa yang dilakukan oleh Jenner tidak diperbolehkan lagi karena melanggar salah satu prinsip etika penelitian kesehatan yaitu “do no harm” (tidak melakukan hal yang membahayakan.1,3

  • Eksperimen-eksperimen yang dilakukan oleh NAZI di Jerman (1939-1945).

Selama NAZI berkuasa, dokter-dokter NAZI melakukan banyak eksperimen pada tahanan yang berada di kamp-kamp penjara. Para tahanan diberikan radiasi, ditempatkan dalam ruangan beku, di injeksi dengan malaria dan TB, sehingga menyebabkan para tahanan mengalami kesakitan yang ekstrim, mutilasi hingga kematian. Tentunya hal tersebut dilakukan tanpa persetujuan. Setelah perang dunia II, pada tahun 1947 diadakan pertemuan di Nuremberg sebagai reaksi atas tindakan para dokter NAZI kepada tahanan yang sangat tidak etis. Pertemuan tersebut melahirkan Nuremberg Code.  Nuremberg Code menjadi inspirasi bagi World Medical Association (WMA) melahirkan Declaration of Hensinki tahun 1964 dan terus diperbaharui. Declaration of Helsinki menjadi acuan peneliti sebagai rambu agar penelitian berjalan sesuai dengan etika yang telah ditetapkan.

  • Tuskegee Syphilis Study (1932-1972)

Penelitian ini cukup terkenal, dilakukan oleh US Public Health Service di Amerika Serikat (AS). Pada saat itu di AS masih ada permasalahan ras. Penelitian dilakukan pada orang-orang Afrika-Amerika, tanpa informasi yang lengkap mengenai pelaksanaan penelitian. Tujuan dari Tuskegee study ini adalah untuk melihat perjalanan ilmiah penyakit sifilis. Sebagian responden penelitian dihalangi aksesnya pada penisilin yang pada saat itu sudah ditemukan. Akibat dari penelitian ini puluhan istri dan anak dari responden terinfeksi sifilis, apabila akses pada penisilin tidak dihalangi seharusnya istri-istri dan anak-anak tersebut bisa terhindar dari infeksi sifilis. Penelitian ini memperkaya Declaration of Hensinki yang direvisi pada tahun 1975.

              Selain penelitian-penelitian tersebut masih ada beberapa penelitian yang tidak memenuhi kaidah etik yang pada saat itu belum disepakati dengan baik. Walaupun belum disepakati dan terdokumentasi, seorang peneliti seharusnya memiliki empati dan nurani dalam memperlakukan subyek penelitian.

              Dapat terlihat bahwa penelitian-penelitian tersebut dilakukan dengan maksud yang baik. Terutama Edward Jenner sangat berjasa dalam eradikasi penyakit cacar. Namun ketika seorang peneliti mempunyai ide yang tidak dibatasi oleh etika, tidak menutup kemungkinan penelitian yang dilakukan menjadi liar. Oleh karena itu diperlukan suatu aturan agar penelitian dan peneliti tidak melampaui batas etika dalam melakukan penelitian.

Pada tahun 1964, World Medical Assembly dalam sidangnya di Helsinki mengambil kesepakatan untuk menerbitkan deklarasi khusus tentang etika kedokteran yang menyangkut subyek manusia. Deklarasi Helsinki memuat prinsip etika, dimana kepentingan subyek harus diatas kepentingan lain. Terdapat dua pernyataan yang merupakan kunci suatu penelitian yang menggunakan manusia sebagai subjek, yaitu :

1. Kepentingan individu subjek harus diberi prioritas dibandingkan dengan komunitas.
2. Setiap subjek dalam penelitian klinis harus mendapatkan pengobatan terbaik yang ada.

Pada Declaration of Helsinki ditetapkan bahwa selain diperlukan informed consent dari subjek penelitian, diperlukan juga ethical clearance yang dikeluarkan oleh Komisi Etik.

Daftar Pustaka:

1.         Commission E, Stirton R. European Textbook on Ethics in Research and Syllabus on Ethics in Research. Vol. 7, Research Ethics. 2011. 74–75 p.

2.         Kemenkes. Pedoman dan Standar Etik Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Nasional. Kementeri Kesehat RI [Internet]. 2017;1–158. Available from: http://www.depkes.go.id/article/view/17070700004/program-indonesia-sehat-dengan-pendekatan-keluarga.html

3.         Henderson DA. Smallpox eradication a WHO success story. World Health Forum; 1987. p. 283–92.

AIDS 2

Assalamuálaikum warahmatullahi wabarakaatuh

menyambung artikel mengenai HIV/AIDS yang lalu, mari kita lanjutkan pembahasan kita.

Kalau belum ada obat yang bisa menyembuhkan, mending jangan sampe kena deh.

Benar, lebih baik mencegah daripada mengobati. Apalagi AIDS tidak bisa sembuh. Tetapi kadang, sulit menghindari musibah. Misalnya dokter yang sedang menangani pasien, atau ketika menolong korban kecelakaan, secara tidak sengaja ada darah yang terciprat, penggunaan pisau cukur, gunting kuku yang bergantian juga bisa menularkan loh. Oleh karenanya saat ini prilaku hati-hati harus ditingkatkan. Barang-barang pribadi sebaiknya digunakan sendiri, tidak sharing. Ketika melihat kecelakaan, jangan menolong tanpa perlindungan. Misalnya ketika menggotong korban, bungkus dulu tangan dengan plastik untuk menghindari cipratan darah. Bagi dokter yang menangani kasus AIDS, bila terjadi kecelakaan kerja, sebaiknya langsung minum obat pencegahan. Pernah ada salah satu teman sejawat yang tidak sengaja tangannya tergores jarum ketika sedang menjahit pasien AIDS. Langsung minum obat pencegahan dan Alhamdulillah setelah dicek hasilnya negative.

Kondom bisa mencegah penularan bila digunakan dengan benar, tetapi kondom bukan satu-satunya cara untuk mencegah penularan. Selain itu kondom juga rentan terhadap kebocoran dan dengan merasa aman, umumnya orang sering lalai sehingga justru bisa lebih berisiko dibandingkan yang lebih berhati-hati. Kampanye pencegahan AIDS harus terdiri dari 3 komponen yaitu ABC:

A= abstinence (puasa berhubungan seks untuk waktu tertentu)

B= being safer (setia kepada pasangan masing-masing, hanya melakukan hubungan seks dengan pasangan yang sah)

C= kondom

Mengapa kondom diletakkan di paling bawah? Karena dua cara di atasnya lebih efektif. (UNAIDS, 2004)

Kok serem ya? Trus gimana donk kalo ada ODHA di sekitar kita?

Ga serem kok, tapi kita harus tahu ilmunya untuk bisa mencegah penularan, menolong ODHA yang membutuhkan pertolongan, menjaga supaya anggota keluarga terhindar dari AIDS. Caranya gimana? Sekali lagi rubah perilaku hidup yang berisiko (seks bebas dan narkoba), ODHA jangan dijauhi tapi dirangkul, diberi motivasi agar bisa hidup dengan normal, beri motivasi agar mau berobat, ajak untuk berkumpul dalam komunitas ODHA untuk mendapatkan informasi terbaru, jangan percaya yang mengatakan dengan menggunakan kondom bisa terhindar dari AIDS ataupun info-info menyesatkan lainnya. Juga, hindari melakukan stigmatisasi terhadap ODHA.

Gimana ya kalo ada anggota keluarga yang terinfeksi HIV?

Ajak ke pusat pelayanan kesehatan yang menangani kasus-ksus HIV/AIDS untuk konsultasi dan melakukan test. Saat ini sudah banyak fasilitas kesehatan yang menyediakan konsultasi dan pengobatan AIDS. Beberapa Puskesmas di Jakarta dan juga propinsi lainnya sudah ada yang ditunjuk pemerintah untuk melakukan tatalaksana AIDS. Untuk di Jakarta, diantaranya yang saya tahu adalah Puskesmas Koja, Tebet, RSPI-SS, RS Budi Asih, RS Fatmawati dan masih banyak lagi.

Gratis? Setahu saya untuk testing dan obat ARV nya gratis, tetapi untuk obat-obat lainnya tergantung IO yang diderita. Misalnya TBC obatnya sudah gratis dan akan diberikan gratis, tetapi untuk toxoplasmosis mungkin harus bayar.

Sebaliknya bagaimana ODHA harus bersikap kepada keluarga dan lingkungan?

ODHA sebaiknya segera mengubah perilaku berisiko tinggi yang dimilikinya, selain itu harus bisa mengerti misalnya ada perlakuan keluarga yang sedikit berbeda. Berikan pengertian perlahan-lahan, semua itu karena mereka belum tahu dan belum mengerti. Dengan perubahan ke rah yang lebih baik, pandangan orang akan berubah juga menjadi lebih baik. Ajaklah anggota keluarga untuk berkumpul bersama ODHA dan keluarganya agar wawasan bisa lebih luas.

Selama 3 tahun bekerja di RSPI-SS, seperti pernah saya ceritakan, hampir setiap jaga di IGD ada pasien AIDS. Pernah saya mendapatkan pasien yang seperti sudah koma, di rangsang sakit tidak merespons. Saya putuskan untuk di rawat dan dipasang selang-selang seperti kateter urin, infus dan NGT (nasogastric tube untuk memasukkan makanan). Begitu mau di pasang kateter oleh perawat, tiba-tiba pasien bangun dan memaki-maki seluruh ruangan, saya memperhatikan keluarganya sangat malu dan minta maaf. Bagi saya tidak masalah karena factor risiko ODHA tersebut adalah penggunaan narkoba suntik, sehingga mungkin sudah terjadi kerusakan di otaknya jadi tidak bisa membedakan mana yang salah, mana yang benar, mana sopan santun, mana caci maki, jadi maklumi saja.

Pernah juga saya mendapatkan pasien kakek-kakek 82 tahun. Datang dengan keluhan tidak bisa makan. Pasien ODHA berasal dari Tanjung Balai Karimun, Kepulauan Riau. Kebetulan saya punya om dan sepupu yang tinggal disana dan pernah beberapa kali kesana. Setelah ditanya-tanya benar perkiraan saya, kakek ini sudah berobat di RS Mounth Elizabeth, Singapura. Begitu di cek obat yang di berikan dokter Singapura sangat banyak, dalam sehari bisa lebih dari 30 tablet yang harus ditelan. Saya katakan, pasien sudah kenyang dengan obat, bagaimana mau makan. Dan setelah dikurangi hanya obat-obat yang penting saja, akhirnya bisa makan sedikit-sedikit.

Ada juga bayi, yang orang tuanya berisiko tinggi. Ibunya mantan pekerja seks komersial dan ayahnya buruh. Keduanya sudah meninggal, bayi itu gizi buruk. Sangat kurus. Begitu di test HIV positif dan di rujuk ke RS Dharmais. Beruntung bayi tersebut punya tante yang mau mengasuhnya dengan baik.

Cukup banyak bila diceritakan kasus-kasus AIDS ini, intinya penyakit ini harus dihindari, karena merugikan diri sendiri, keluarga, persahabatan bahkan kehidupan bernegara.

wassalamuálaikum warahmatullahi wabarakaatuh

UNAIDS. (2004). Making condoms work for HIV prevention. Geneva: Joint United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS).

Kearifan local dan hidup harmony bersama bencana (mari bersama membangun system peringatan dini/ early warning system dalam menghadapi bencana)

Assalamuálaikum warahmatullahiwabarakaatuh

Setelah membahas susu unta, saya ingin kembali ke topik pertama yaitu AIDS. Tapi melihat begitu banyak bencana yang terjadi saat ini, tiba-tiba saya ingin menulis tentang bencana. Tahun 2004-2007 di saat saya ditempatkan di RSPI Sulianti Saroso (RSPI-SS), saya sebetulnya adalah dokter brigade siaga bencana (BSB). Program BSB ini dibuat oleh Kementerian Kesehatan (saat itu namanya masih Departemen Kesehatan) untuk siap pada saat tanggap darurat bencana. BSB bukan hanya dokter, tetapi didalamnya ada juga perawat, logistic, administrasi dll. Suatu tim yang dibentuk komprehensif dan siap diturunkan setiap saat ketika bencana datang. BSB khusus dalam penanganan kesehatan. Kami sering bekerja sama dengan instansi lain dalam penanggulangan bencana.

Khusus untuk dokter BSB, bila tidak ada bencana kami dititipkan di rumah sakit-rumah sakit milik Kementerian Kesehatan (Kemkes). Hampir di semua propinsi di Indonesia ada dokter BSB. Saya pernah bertugas bersama dengan teman BSB Riau, Sumatera Selatan, Jawa Tengah, Bali, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara dan Maluku Utara. Di Jakarta ada 4 rumah sakit milik Kemkes yang menjadi tempat dokter BSB bertugas sehari-hari. Yaitu RS Cipto Mangunkusumo, RS Fatmawati, RS Persahabatan dan RSPI-SS. Biasanya kami ditempatkan di Instalasi Gawat Darurat (IGD) tetapi kami juga bisa ditempatkan dimana saja sesuai kebijakan rumah sakit.

Pengalaman saya ketika menjadi dokter BSB selama 3 tahun, diantaranya:

  1. Tim kesehatan pada saat ekstradisi tenaga kerja Indonesia illegal dari Malaysia
  2. Tim kesehatan kelaparan kronik di Yahukimo, Papua
  3. Tim kesehatan tsunami Aceh (saat tsunami Aceh saya tidak berkesempatan ke Aceh, saya menjadi tim yang bertugas di Jakarta menjemput korban-korban tsunami Aceh yang dirujuk ke Jakarta untuk mendapatkan penanganan kesehatan lanjut. Saya bersama tim (perawat dan supir) standby di bandara Halim Perdanakusumah dengan ambulance dan bila pesawat datang membawa korban, kami jemput dan membawa korban ke rumah sakit yang telah ditunjuk)
  4. Tim kesehatan gempa Bantul, Yogya pada tahun 2006
  5. Tim penanganan flu burung di RSPI-SS. Mungkin masih ada yang ingat, tahun 2005 terjadi wabah flu burung dan rumah sakit yang ditunjuk sebagai rujukan flu burung adalah RSPI-SS. dll

Dalam artikel kali ini saya akan fokus membahas kearifan lokal/ peran masyarakat untuk membangun early warning system bencana.

Ketika saya menjadi dokter BSB, kami mendapatkan pelatihan-pelatihan mengenai bencana. Dan hampir semua mentor maupun dosen yang mengajar selalu mengatakan kita di Indonesia ini hidup di Negara supermarket bencana. Apa sih maksud supermarket bencana? Di supermarket kan semuanya ada, tersedia. Nah begitu juga di Indonesia, kita punya semua bencana. Ada gempa bumi, tsunami, angin puting beliung, longsor, gunung berapi, banjir dll.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sudah melakukan pemetaan bencana (Gambar 1) di Indonesia dan bisa didapatkan peta tersebut dalam web BNPB yaitu https://bnpb.go.id//potensi-bencana dan juga dalam buku (Amri, et al., 2016).

Gambar 1. Peta Potensi dan Ancaman Bencana di Indonesia (https://bnpb.go.id//potensi-bencana)

Bisa terlihat dalam peta hampir seluruh wilayah Indonesia mempunyai tingkat kerawanan tinggi terhadap bencana.

Dalam membangun early warning system (EWS) tentunya tidak bisa lepas dari peran masyarakat. Masyarakatlah yang pertama terkena dampak bencana, dan peringatan dini melalui media massa akan membutuhkan waktu beberapa menit untuk sampai ke masyarakat. Sedangkan informasi bencana dari lokasi bencana ke instansi berwenang juga membutuhkan waktu. Walaupun saat ini pemerintah sudah sangat sigap menangani bencana, tetapi tetap menurut saya kewaspadaan dini di masyarakat lebih penting untuk meminimalisasi dampak bencana.

DR. Syamsul Maarif dalam buku Pikiran dan Gagasan Penanggulangan Bencana di Indonesia (Maarif, 2012) menyatakan bahwa filosofi menghadapi ancaman bencana ada 4 yaitu menjauhkan ancaman dari manusia, menjauhkan manusia dari ancaman, hidup harmoni bersama bencana dan belajar dari pengalaman. Rasanya hampir tidak mungkin menjauhkan ancaman dari manusia, sedangkan menjauhkan manusia dari ancaman juga pastinya sangat sulit. Paling mungkin adalah hidup harmoni bersama bencana dan belajar dari pengalaman.

Kita bisa melihat pengalaman Negara-negara seperti Jepang dan Amerika. Kedua Negara ini menurut saya bisa menjadi contoh masyarakatnya yang hidup harmoni bersama bencana dan belajar dari pengalaman. Jepang dengan bencana gempanya yang begitu sering dan Amerika dengan angin Tornadonya. Di Jepang walaupun sering sekali gempa, masyarakatnya sudah tahu apa yang harus dilakukan. Pemerintahnya juga mengatur pembangunan seaman mungkin dari gempa sehingga Jepang terkenal dengan rumah kayu dan kertas dan juga bangunan tinggi yang meliuk ketika terkena gempa. Sedangkan Amerika meminimalisasi dampak tornado dengan membangun bunker dalam rumah dilengkapi dengan supply makanan dan air.

Masyarakat Indonesia juga mempunyai kearifan local dalam menghadapi bencana. Misalnya cerita teman yang pernah bertugas di Aceh dan juga pemberitaan televisi. Ketika tsunami Aceh tahun 2004, korban tsunami paling sedikit ada di Pulau Simeleu. Kenapa? Karena masyarakat Simeleu mempunyai suatu cerita rakyat yang salah satu ceritanya tentang kalau ada gempa kemudian air surut segera lari ke tempat tinggi. Kita ketahui setelah gempa Aceh air surut, ikan berserakan di pantai dan tidak lama setelah itu tsunami. Begitu melihat fenomena air surut, masyarakat Simeleu lari ke tempat tinggi. Berbeda dengan masyarakat di Aceh daratan. Begitu air surut  tidak lari ke tempat tinggi, bahkan yang sedang berada dipinggir pantai sibuk mengumpulkan ikan yang berserakan sehingga ketika air naik tidak sempat lari. Pengalaman nenek moyang masyarakat Simeleu disampaikan melalui cerita rakyat yang kemudian diingat oleh masyarakat Simeleu.

Berbeda dengan Yogyakarta. Kita kenal dengan sosok Mbah Marijan. Kuncen gunung Merapi yang fenomenal. Pada saat terjadi gempa Yogya tahun 2006, sebetulnya sudah ada tim bencana yang standby untuk erupsi Merapi. Pada saat itu sudah ada peringatan untuk masyarakat lereng gunung Merapi mengungsi. Tetapi Mbah Marijan bilang tidak perlu karena Merapi belum erupsi. Dan masyarakat lereng gunung lebih percaya Mbah Marijan dibandingkan himbauan pemerintah. Kemudian terjadi gempa, saya tiba di Yogya H+2 setelah gempa dan masih merasakan beberapa kali gempa susulan. Kami dari Kemkes bertugas di ambulance keliling, langsung ke masyarakat korban gempa. Saya mendapat tugas di Kabupaten Gunung Kidul. Saya sempat bertanya pada beberapa orang kenapa masyarakat lereng gunung lebih percaya himbauan Mbah Marijan dan tidak mau mengungsi? Pasti banyak yang berpikir klenik J

Ternyata, jawabannya sangat ilmiah. Menurut beberapa orang yang diwawancara, Mbah Marijan mempunyai kemampuan membaca tanda-tanda alam untuk membaca pola erupsi Gunung Merapi. Mengapa saat itu Mbah Marijan tidak menyarankan masyarakat lereng gunung untuk mengungsi karena Mbah Marijan tidak melihat adanya tanda-tanda alam akan terjadi erupsi gunung Merapi. Tidak ada eksodus dari hewan-hewan liar (tidak ada kawanan gajah dan rusa yang turun gunung), ular belum keluar dari lubangnya dll. Kemampuan Mbah Marijan dalam membaca tanda-tanda alam ini tentunya merupakan asset bagi masyarakat di lereng gunung Merapi untuk mengetahui aktifitas gunung Merapi.

Apa yang dilakukan di Amerika dan Jepang adalah upaya mitigasi (mengurangi dampak bencana) yang dilakukan berdasarkan pengalaman sebelumnya. Sedangkan yang dilakukan oleh masyarakat Pulau Simeleu dan lereng gunung Merapi adalah cara bagaimana masyarakat hidup harmoni dengan bencana. Jadi, mungkin ada kearifan local di daerah masing-masing yang bisa dijadikan salah satu acuan kewaspadaan dini terhadap bencana baik dalam bentuk kisah-kisah, lagu-lagu, kesenian lain, atau sosok seperti Mbah Marijan yaitu tokoh local yang dihormati masyarakat karena ilmunya.   

Kalau ada share di kolom comment ya, semoga bisa dikumpulkan dan menjadi salah satu sarana untuk tukar informasi.

Jadi kalau begitu ga perlu pake alat canggih dong buat mendeteksi bencana?

Alat-alat canggih tentunya sangat diperlukan. Sekarang kan sudah jaman serba elektronik. Tentunya alat-alat ini mempunyai manfaat yang sangat tinggi dalam EWS. Semua punya kekurangan dan kelebihan masing-masing yang tentunya bisa saling mengisi. Alat-alat canggih bisa lebih obyektif, bisa menilai perubahan karakter bencana dari waktu-ke waktu, semuanya tercatat, bisa menjadi data untuk diolah menjadi informasi, kekurangannya mahal dan memerlukan sumber daya yang besar. Sedangkan kearifan local tentunya lebih murah tetapi sulit untuk menilainya secara obyektif. Dalam membangun peran serta masyarakat dalam penanggulangan bencana khususnya EWS keduanya sangat penting.

Saya juga ingin menginformasikan bahwa sudah ada lembaga swadaya masyarakat yang berperan besar dalam mengajak masyarakat peduli terhadap bencana dan membangun peran serta masyarakat dalam penanggulangan bencana. Yang saya ketahui dan mengenal beberapa orang pengurus maupun mantan pengurusnya adalah Masyarakat Peduli Bencana Indonesia (MPBI) (www.mpbi.info), Wanadri (www.wanadri.or.id), Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) (www.mdmc.or.id).

Demikian yang bisa disampaikan, semoga bisa memberikan informasi bermanfaat. Sampai jumpa dalam artikel selanjutnya.

Wassalamuálaikum warahmatullahiwabarakaatuh

Amri, M., Yulianti, G., Yunus, R., Wiguna, S., Adi, A., Ichwana, A., et al. (2016). Risiko Bencana Indonesia. Jakarta: Badan Nasional Penanggulangan Bencana.

Maarif, S. (2012). Masyarakat Sipil Dalam Penanggulangan Bencana. In S. Maarif, Pikiran dan Gagasan Penanggulangan Bencana di Indonesia (pp. 173-221). Jakarta: Badan Nasional Penanggulangan Bencana.

Susu dan Kencing Unta

Assalamuálaikum warahmatullahiwabarakaatuh

Beberapa waktu yang lalu kita dihebohkan di social media (sosmed) tentang Ustadz Bachtiar Nasir (UBN) yang meminum susu dan kencing unta. Dan ternyata memang ada hadits Rasulullah Salallahuálaihiwassalam yang menyatakan bahwa susu unta dan kencing unta dapat mengobati sakit perut. Saya bukan orang yang mampu menjelaskan mengenai hadits ini, tetapi rasanya cukup mampu untuk membahas hal ini dari sisi medis. Kemudian saya mencari apakah ada hasil-hasil penelitian ilmiah mengenai ini. Dan ternyata banyak. Bahkan sudah ada yang membuat review (telaah) dari beberapa artikel penelitian mengenai manfaat susu dan kencing unta ini. Yuk kita bahas sama-sama. Dan saya juga akan menyertakan daftar pustaka penelitian-penelitian yang saya jadikan acuan dalam menulis artikel ini, sehingga apa yang disampaikan bisa dilihat kebenarannya dalam artikel-artikel tersebut.

Dengan adanya hadits Rasulullah Salallahuálaihiwassallam, kita bisa memperkirakan bahwa penggunaan susu dan kencing unta untuk pengobatan sudah dilakukan sejak lama. Namun baru sekitar tahun 1980an dilakukan penelitian mengenai manfaat susu dan kencing unta ini. Review yang dilakukan oleh (Gader & AA, 2016) mendapatkan bahwa susu dan kencing unta dapat digunakan sebagai pengobatan berbagai macam penyakit seperti kanker, hepatitis kronik, infeksi hepatitis C dan ulkus (tukak) lambung. Bahkan ada penelitian yang menemukan bahwa susu unta bisa digunakan dalam pengobatan alergi makanan berat pada anak yang tidak responsive terhadap pengobatan konvensional, kencing manis (Diabetes mellitus/DM), penyakit-penyakit yang terkait dengan pembuluh darah seperti stroke dan penyakit jantung. Mengapa demikian? Ternyata ada efek anti kanker, antiplatelet (anti pembekuan darah), anti-thrombotic (juga anti pembekuan darah), anti-bakteri, virus dan parasite dalam susu dan kencing unta. Efek pengobatan yang terkandung dalam susu unta akan lebih kuat bila dipadukan dengan kencing unta.  Kita akan bahas efek susu dan kencing unta ini dalam berbagai penyakit.

Bismillahirrahmaanirrahiim.

  1. Anti-diabetes (kencing manis)

Efek anti-diabetes terjadi karena komponen yang terdapat dalam susu unta kaya akan zat-zat yang dapat berfungsi seperti insulin, insulin-like proteins, mineral, immunoglobulin dan zat-zat yang berfungsi sebagai anti-inflamasi.  Susu unta juga mempunyai sifat anti-oksidan dan membersihkan radikal bebas. (Gader & AA, 2016) Penelitian yang dilakukan oleh (Fallah, et al., 2017) mendapatkan hasil bahwa minum susu unta atau susu sapi sebanyak 500 ml setiap hari selama 3 bulan akan menurunkan kadar HbA1c (pemeriksaan laboratorium untuk mendeteksi dan menilai pengobatan DM) dengan baik, menurunkan dosis pemakaian insulin. Susu unta menurunkan kadar HbA1c dan menurunkan dosis insulin lebih baik dibandingkan susu sapi. Susu unta juga menaikkan kadar HDL (kolesterol baik), sedangkan susu sapi tidak. Sebuah penelitian di India mendapatkan hasil bahwa rutinitas minum susu unta dan gaya hidup sehat mempengaruhi prevalens (angka kesakitan) DM. Orang yang mempunyai gaya hidup sehat dan rutin minum susu unta risiko terkena DM jauh lebih rendah daripada yang gaya hidupnya kurang sehat dan tidak rutin minum susu unta. Bahkan ada satu daerah yang sama sekali tidak ada yang sakit DM karena masyarakatnya rutin minum susu unta dan gaya hidupnya sehat. (Agrawal, Budania, P, Gupta, & DK, 2007)

  • Anti-kanker

Efek anti-kanker diketahui dimiliki oleh kencing unta. Kencing unta di klaim mempunyai efek anti-kanker pada berbagai jenis kanker seperti kanker payudara, nasofaring, paru-paru, hepatoselular karsinoma, kanker kolon dan juga leukemia. Berbagai penelitian baik in-vitro (dalam laboratorium) maupun in-vivo (pada manusia) mengenai efek kencing unta pada pengobatan kanker sudah dilakukan. Walaupun belum diketahui zat aktif yang mempunyai efek anti kanker, namun diketahui bahwa kencing unta dapat menghambat pertumbuhan kanker dan pengobatan kanker dengan kemoterapi yang dibarengi dengan kencing unta hasilnya lebih baik dibandingkan hanya kemoteterapi saja. Kencing unta yang dicampur dengan susu unta mempunyai efek yang lebih baik, susu unta juga menyamarkan rasa kencing unta sehingga akan lebih nyaman diminum bila bersamaan. (Gader & AA, 2016) (Alebie, Yohannes, & Worku, 2017)

  • Hepatitis kronis dan infeksi hepatitis C

Hepatitis atau yang biasa dikenal dengan sakit kuning adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus hepatitis. Merupakan penyakit infeksi yang focus utamanya menyerang hati walaupun sebenarnya infeksi terjadi di seluruh tubuh. Ada 5 jenis virus yang umumnya menyebabkan hepatitis yaitu hepatitis A virus (HAV), hepatitis B virus (HBV), hepatitis C virus (HCV), hepatitis D virus (HDV), and hepatitis E virus (HEV). Gejalanya bisa dari ringan sampai sangat berat, bahkan bisa menyebabkan hati rusak berat (sirosis hati) sampai kanker, tergantung dari virus yang menyerang.  (Dienstag, 2010)

Susu unta diduga mempunyai efek antivirus kira-kira sejak awal 1980an. Dibandingkan dengan susu kuda, susu unta mempunyai efek untuk memperbaiki dan menormalkan hasil-hasil biokimia dan kondisi klinis pada pasien dengan aktif hepatitis kronik dengan lebih baik. Efek antivirus pada kasus-kasus hepatitis terutama hepatitis C karena susu unta mempunyai efek menghambat masuknya virus ke dalam sel. Efek antivirus susu unta juga lebih baik dibandingkan susu sapi dan susu manusia. Selain efek antivirus, susu unta juga mempunya efek anti parasite (cacing) hati. (Gader & AA, 2016)

  • Alergi makanan yang tidak responsive terhadap pengobatan konvensional

Alergi makanan terutama pada anak-anak bisa berakibat fatal hingga kematian. Walaupun gejala alergi yang umum ditemukan ‘hanya’gatal-gatal, tetapi bila dibiarkan bisa juga mengakibatkan sesak nafas juga syok anafilaktik (gangguan pembuluh darah, bisa menyebabkan kematian bila tidak segera diatasi).

Beberapa penelitian sudah dilakukan mengenai efek antialergi dari susu unta. Pasien-pasien yang dirawat di rumah sakit karena alergi makanan yang berat, gejalanya hilang setelah minum susu unta selama beberapa hari dan tidak pernah kambuh lagi selama minum susu unta. (Gader & AA, 2016) (Shabo, Barzel, Margoulis, & Yagil, 2005)

  • Penyakit-penyakit lain yang mungkin bisa diatasi dengan minum susu unta

Beberapa penyakit lain diduga bisa diatasi dengan susu unta, namun masih harus diteliti lebih lanjut. Diantara penyakit tersebut adalah tuberculosis, autism, penyakit kardiovaskuler (seperti jantung, stroke dll), infeksi bakteri, infeksi virus (AIDS, herpes, dll), anti fungi (jamur). (Gader & AA, 2016) (Al-Ayadhi, Halepoto, AL-Dress, Mitwali, & Zainah, 2015)

Sedikit saya akan menyampaikan pendapat saya. Walaupun banyak penelitian sudah dilakukan mengenai benefit (keuntungan) dari minum susu dan kencing unta, namun masih banyak hal yang perlu dilakukan untuk bisa mengatakan bahwa susu dan kencing unta benar-benar mempunyai efek seperti obat untuk penyakit-penyakit yang sudah diteliti tersebut. Untuk bisa menjadi obat, tentunya harus diketahui zat aktif apa yang dimiliki susu dan kencing unta, yang tidak dimiliki bahan-bahan lainnya. Zat aktif ini harus bisa diekstrak sehingga murni tidak terkuntaminasi oleh zat lain dan diteliti dosis efektifnya dan dosis amannya. Tidak dapat dipungkiri, susu dan kencing unta bisa menjadi salah satu alternative bahan obat penyakit-penyakit tersebut.

Kita mengenal obat-obatan yang dibuat dari bahan alam yang sudah menjadi obat standard dan digunakan di dunia kedokteran. Seperti curcuma (temulawak) untuk obat hati dan artemisinin yang saat ini digunakan sebagai obat utama untuk malaria. Susu dan kencing unta tentunya sangat potensial untuk menjadi obat.

Sebagai umat Islam, kita tentunya juga sangat percaya dengan pengobatan cara Rasulullah salallahuálaihiwassallam. Saya pribadi juga sangat percaya. Untuk itu, dikarenakan belum diketahui pasti zat aktif apa yang menjadikan susu dan kencing unta untuk pengobatan penyakit-penyakit tersebut, saya menyarankan bila ingin menggunakan susu unta atau kencing unta sebagai obat, gunakan sebagai pendamping (adjuvant) obat konvensional.  Mintalah izin kepada dokter yang merawat, tanyakan sebaiknya bagaimana menggunakannya. Apakah harus ada jeda waktu dengan obat konvensional, apakah bisa diminum setiap hari dll.

Mengenai keamanan, karena susu merupakan minuman sehari-hari. Hampir semua orang pernah minum susu, pastinya aman untuk digunakan. Hanya saja ada beberapa obat konvensional yang bereaksi entah positif (menambah efek) atau negative (mengurangi efek) bila digunakan bersamaan dengan susu. Belum pernah ada laporan mengenai efek samping susu kecuali pada orang-orang yang alergi.

Kita kan di Indonesia, dimana bisa dapet susu unta? Saya coba search di google mengenai penjual susu unta. Dan ternyata banyak yang menjual susu unta terutama dalam bentuk bubuk. Mengenai kencing unta kan jijik ya minum kencing. Betul sekali dan rasanya gimana ya minum kencing hehe. Saya punya dosen ketika kuliah kedokteran dulu. Dosen saya itu sakit, tapi gosipnya kurang jelas mengenai sakitnya apa. Ada yang bilang kanker, ada yang bilang jantung. Tapi dosen saya itu melakukan urinoterapi atau terapi dengan minum air kencing sendiri. Artinya dia meminum air kencingnya sendiri sebagai obat. Jadi sebenarnya minum air kencing ini sudah digunakan sebagai pengobatan alternative. Rasanya gimana? Wallahualam bissawab. Saya belum pernah coba. Hanya saja bagi yang mungkin mau coba terapi kencing unta ini tapi takut dengan rasanya, saya juga pernah search di google bahwa kencing unta dijual juga dalam bentuk minyak. Bentuk minyak seharusnya bisa dikemas ke dalam bentuk soft capsules (seperti minyak ikan atau vitamin E), tapi saya belum menemukan yang menjual dalam bentuk soft capsules.

Demikian yang bisa disampaikan, semoga bisa memberikan informasi bermanfaat. Sampai jumpa dalam artikel selanjutnya.

Wassalamuálaikum warahmatullahiwabarakaatuh

Agrawal, R., Budania, S., P, S., Gupta, R., & DK, K. (2007). Zero prevalence of diabetes in camel milk consuming Raica. Diabetes Research and Clinical Practice, 290-6.

Al-Ayadhi, L., Halepoto, D., AL-Dress, A., Mitwali, Y., & Zainah, R. (2015). Behavioral Benefits of Camel Milk in Subjects with Autism Spectrum Disorder. Journal of the College of Physicians and Surgeons, 819-23.

Alebie, G., Yohannes, S., & Worku, A. (2017). Therapeutic Applications of Camel’s Milk and Urine against Cancer:. Journal of Cancer and Science Therapy, 468-78.

Dienstag, J. (2010). Acute Viral Hepatitis. In D. Kasper, & A. Fauci, Harrison’s Infectious Diseases (pp. 893-938). New York: The McGraw-Hill Companies, Inc.

Fallah, Z., Ejtahed, H.-S., Mirmiran, P., Niasari Naslaji, A., Moosavi Movahedi, A., Eslami, F., et al. (2017). Effect of Camel Milk on Glycemic Control and Lipid Profiles. Iranian Journal of Endocrinology and Metabolism, 306.

Gader, A., & AA, A. (2016). The Unique Medicinal Properties of Camel Products: A Review of The Scientific Evidence. Journal of Taibah University Medical Sciences, 98-103.

Shabo, Y., Barzel, R., Margoulis, M., & Yagil, R. (2005). Camel Milk for Food Allergies in Children. Immunology and Allergies Journal, 796-8.

AIDS

Assalamuálaikum warahmatullahi wabarakaatuh

Tanggal 1 Desember, diperingati sebagai hari AIDS internasional. Rasanya cocok bulan Desember baru saja berlalu, kalau kita membicarakan mengenai AIDS. AIDS (acquired immunodeficiency syndrome) merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus yang disebut HIV (human immunodeficiency virus) yaitu virus yang menyebabkan daya tahan tubuh seseorang turun sehingga tubuh tidak mempunyai kekuatan untuk mempertahankan diri dari penyakit-penyakit yang datang.

Pengalaman saya menangani pasien AIDS adalah ketika saya bekerja di RSPI Prof. dr. Sulianti Saroso (RSPI-SS) yang merupakan salah satu rumah sakit rujukan untuk HIV/AIDS di Jakarta tahun 2004-2007. Pada saaat itu karena merupakan rumah sakit rujukan, setiap saya jaga di instalasi gawat darurat (IGD) pasti ada pasien AIDS yang datang untuk di tangani. Biasanya dirujuk dari rumah sakit lain.

Dari hasil pengamatan saya selama bekerja di sana (walaupun hanya dari IGD) pasien-pasien AIDS lebih dari 90% adalah orang-orang berusia produktif. Pernah menerima pasien AIDS bayi dan manula tapi seingat saya hanya 1-2 orang saja. Umumnya faktor risiko terbanyak adalah penggunaan narkoba suntik dan seks bebas. Tetapi sebetulnya narkoba dan seks bebas seperti sahabat karib. Dimana ada penggunaan narkoba hampir dipastikan terjadi seks bebas. Jadi agak sulit memisahkan faktor risiko mana yang merupakan faktor risiko terbesar untuk transmisi HIV/AIDS.

Sebetulmya apa sih HIV/AIDS itu? Kok ditakuti ya? Apa bedanya dengan penyakit infeksi lain?

Bila di ibaratkan tubuh manusia adalah sebuat Negara. Negara mempunyai instrumen untuk mempertahankan dirinya dari serangan luar yaitu tentara. HIV menginfeksi tubuh manusia melalui pertukaran cairan tubuh, yaitu darah dan air mani.  Mengapa pengguna narkoba suntik bisa menulari HIV? Karena penggunaan jarum suntik yang bersama-sama bergantian. Ketika HIV masuk ke dalam tubuh manusia, tetapi ternyata HIV tidak terdeteksi sebagai ancaman oleh tubuh. HIV masuk sebagai agen yang menyamar menjadi teman dan tidak terdeteksi sebagai ancaman oleh tentara. Tetapi agen yang menyamar ini terus bekerja untuk melemahkan system pertahanan Negara tersebut hingga Negara menjadi runtuh. Akhirnya Negara tersebut lemah dan mudah diserang oleh Negara lain. Negara yang tadinya bukan ancaman sama sekali bisa mengalahkan Negara karena system pertahanan yang runtuh. Begitu daya tahan tubuh manusia lemah berbagai penyakit akan muncul. Bahkan serangan kuman yang pada manusia normal seharusnya tidak menimbulkan penyakit, seperti toxoplasma. Pada orang AIDS bisa menjadi peyakit yang mematikan.

Menurut saya AIDS bukan hanya meruntuhkan daya tahan tubuh individu saja, tetapi penyakit ini juga merupakan ancaman bagi sebuah Negara. Kenapa?

  1. AIDS umumnya menyerang orang-orang dengan usia produktif
  2. Faktor risiko AIDS juga tidak kalah berbahaya bagi ketahanan suatu Negara (narkoba dan seks bebas)
  3. Saat ini obat-obat antiretroviral (yang di klaim sebagai obat AIDS), harus disediakan oleh Negara dan diberikan gratis kepada penderita AIDS. Obat ini harus diminum seumur hidup, dengan jadwal yang sudah ditentukan dan tidak boleh meleset.
  4. Selain antiretroviral, penyakit-penyakit lain yang diderita juga harus diobati, karena penyakit lain (biasa disebut infeksi opportunistic) yang menyebabkan kematian. AIDS sendiri tidak menimbulkan gejala penyakit tetapi melemahkan system pertahanan sehingga orang dengan AIDS akan menderita begitu banyak infeksi dalam satu waktu.

Baiklah, sekarang kita bahas satu persatu.

  1. Bayangkan jika suatu Negara angka penderita AIDS tinggi. Anak-anak muda dengan AIDS kalau sudah sampai tahap terminal, itu tidak bisa bekerja, beraktifitas normal. Jangankan untuk berperang, bekerja,  ataupun sekolah. Untuk mempertahankan hidup, sudah sulit. Sudah tergantung berbagai macam obat-obatan. Tergantung dengan orang sekitar untuk mengurus dirinya. Diserang berbagai macam penyakit. Tentunya akan membebani keluarga dan sahabat juga negara, belum lagi uang yang digunakan untuk berobat yang berupa biaya transportasi, makan, membeli obat-obatan, jasa petugas medis. Karena walaupun obat antiretroviral bisa didapatkan secara gratis (disediakan pemerintah), tetapi obat-obatan lainnya (obat untuk infeksi opportunistic, obat-obat untuk mengurangi gejala penyakit seperti obat batuk, pengurang nyeri, dll) tetap tetap harus dibeli. Penderita AIDS sudah hampir dipastikan tidak bisa bekerja, keluarga yang merawat juga tidak bisa mencari uang sehingga biaya perawatannya akan sangat mahal.
  2. AIDS merupakan penyakit yang timbul akibat adanya “salah pergaulan”. Apabila hulu dari penyakit ini seperti narkoba dan seks bebas tidak ditindak pastinya akan sulit mengontrol lonjakan penderita AIDS. Tahun 2016 Kementerian Kesehatan RI (KEMKES RI) mencatat 7.491 kasus AIDS dan 41.250 kasus HIV baru. Apa ya bedanya HIV dan AIDS?  (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2017) Sederhananya walaupun belum bisa seluruhnya menggambarkan, HIV adalah orang yang terinfeksi virus HIV, sudah terdeteksi tetapi belum masuk dalam kondisi parah. Sedangkan AIDS merupakan orang dengan HIV yang sudah terminal atau sakit parah. Orang dengan AIDS biasanya sudah terserang berbagai macam penyakit (kita akan bahas penyakit-penyakit apa saja yang biasanya diderita di bawah)

Kita semua tahu, narkoba dan seks bebas adalah penyakit masyarakat. Jadi selama pencetusnya tidak ditangani, AIDS akan terus meningkat. Jumlah penderita HIV/AIDS itu seperti gunung es. Yang tercatat hanya puncaknya atau bagian kecil saja, bagian yang tidak terlihat jauh lebih besar. Oleh karenanya penyakit ini menjadi ancaman bagi dunia kesehatan saat ini.

  • Tata laksana HIV/AIDS diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 87 tahun 2014 Tentang Pedoman Pengobatan Antiretroviral . Obat antiretroviral (ARV) harus bisa disediakan oleh pemerintah secara gratis. Yang artinya pemerintah harus stok ARV dalam jumlah cukup, karena untuk penderita AIDS yang sudah minum ARV tidak boleh ada putus obat seumur hidup. Dikarenakan ARV belum dapat diproduksi di dalam negeri, maka pemerintah harus menyediakan sejumlah dana untuk pembelian obat ini. Semakin banyak  yang sakit, maka devisa Negara untuk membeli ARV akan semakin banyak. Oleh karena itu dapat dikatakan, bila semakin banyak yang sakit AIDS maka ketahanan ekonomi suatu Negara akan lemah.
  • Sedikit sudah saya singgung mengenai cara bekerja HIV di dalam tubuh, yaitu melemahkan system pertahanan tubuh sehingga mengundang penyakit-penyakit lain untuk menyerang tubuh penderita AIDS. Bahkan kuman-kuman yang pada orang normal tidak menimbulkan penyakit, pada orang AIDS akan menimbulkan penyakit. Contohnya kuman toxoplasma yang biasa kita kenal sebagai kuman kucing, pada orang normal umumnya tidak menimbulkan penyakit walaupun kuman toxoplasma tersebut masuk ke dalam tubuh kita terus menerus. Biasanya pada ibu hamil yang terinfeksi toxoplasma akan menimbulkan keguguran, cacat pada janin, tetapi pada ibunya sendiri tidak menimbulkan penyakit.

Pada orang dengan AIDS, toxoplasma justru menimbulkan penyakit serius, bisa berupa kebutaan bahkan sampai menyerang otak dan mengganggu fungsi otak. Penyakit yang disebabkan toxoplasma disebut toxoplasmosis. Bila menyerang otak umumnya menimbulkan ketidak sadaran, mengamuk dan gangguan fungsi otak lainnya. Pengalaman saya pasien AIDS dengan toxoplasmosis cerebri (otak) cukup sering ditemukan. Infeksi opportunistic lain yang juga sering dtemukan adalah kandidiasis (jamur umumnya  pada lidah dan saluran pencernaan). Hairy leukoplakia, TBC, sarcoma Kaposi dan masih banyak lagi. Dan pada orang dengan AIDS biasanya bukan hanya 1 penyakit saja, bisa beberapa penyakit dalam satu waktu.

Bagaimana sih perjalanan penyakit AIDS itu? Bagaimana pencegahannya?

AIDS ditularkan melalui pertukaran cairan tubuh seperti darah dan air mani. Dalam ludah ada sedikit virus tetapi umumnya belum dapat menimbulkan penyakit karena jumlah yang kecil dan virus mati ketika bertemu dengan asam lambung. Jadi penularan utama AIDS adalah melalui hubungan sex yang tidak aman dan penggunaan jarum suntik yang bergantian pada pengguna narkoba suntik. Kalo ciuman? Ada kemungkinan tertular bila terjadi luka misal tidak sengaja tergigit atau sariawan. Saat ini diketahui bahwa penularan AIDS tertinggi terjadi pada hubungan seks lelaki sama lelaki (LSL) atau pada orang-orang gay/biseksual maupun yang berhubungan seks dengan transgender (melakukan hubungan seks melalui anus). Kenapa kok bisa begitu? Dicurigai hal tersebut karena hubungan seks melalui anus menimbulkan luka yang lebih banyak dan juga diketahui bahwa vagina mempunyai semacam perlindungan dari benda asing yang masuk sehingga lebih tahan terhadap ancaman yang berasal dari luar tubuh. Penularan lain bisa terjadi melalui penggunaan alat seperti gunting kuku bergantian, pasien ke dokter, ibu ke anak, dan transfusi darah. Bahkan dibandingkan dengan yang menggunakan jarum suntik bergantian, hubungan LSL ini jauh lebih tinggi risiko penularannya. (Public Health Agency of Canada, 2012) (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2015) (KASPER & FAUCI, 2010)

Begitu virus masuk ke dalam tubuh, gejala yang timbul pertama kali adalah gejala flu seperti batuk, pilek, demam. Tidak ada gejala yang khas.  Kemudian terjadi fase jendela (window periode) yaitu masa dimana virus masuk dan berkembang dalam tubuh, sedangkan alat diagnosis yang standart digunakan saat ini belum bisa mendeteksi adanya infeksi. Masa ini kira-kira 6 bulan. Dan pada masa ini orang terinfeksi HIV sudah bisa menularkan virus. Setelah fase jendela, infeksi sudah bisa terdeteksi. Pada masa ini penderita HIV masih bisa beraktifitas normal, walaupun dengan virus di tubuhnya. Masa ini bisa terjadi selama bertahun-tahun, bahkan bisa 10 tahun tergantung dari kebiasaan dan gaya hidup penderita. Kemudian masuk fase AIDS. Pada fase AIDS ini penderita HIV umumnya sudah tidak bisa berkaktifitas normal, berbagai infeksi opportunistic sudah menimbulkan penyakit, penderita AIDS bisa menderita berbagai macam penyakit dalam waktu yang sama. Penderita AIDS pada masa ini sangat tergantung pada keluarga dan memerlukan perawatan khusus.

Apakah bisa sembuh?

Penderita AIDS bila diobati dengan baik, minum obat secara benar daya tahan tubuhnya akan membaik. Namun sulit untuk kembali normal walaupun ada yang masih bisa beraktifitas seperti orang lain tetapi jumlahnya tidak banyak. Pada fase AIDS ini  ARV harus diminum dengan rutin tanpa pernah meleset. Saat ini belum ada obat yang bisa menghilangkan virus dari tubuh. ARV hanya menekan jumlah virus tetapi tidak menghilangkan. Ketika ARV dihentikan maka virus akan berkembang kembali. Jadi AIDS tidak bisa disembuhkan dengan obat yang tersedia saat ini, yang bisa sembuh adalah infeksi oppotunistik.

Bagaimana cara mencegah penularan HIV? menghadapi orang dengan HIV/AIDS (ODHA)? apa yang harus dilakukan oleh keluarga dan lingkungan? Apa yang harus ODHA lakukan ketika menghadapi orang sekitar? Akan dibahas dalam sesi-sesi berikutnya J

Saya juga akan memaparkan pengalaman-pengalaman menghadapi ODHA dalam artikel-artikel selanjutnya.

Demikian yang bisa disampaikan, semoga bisa memberikan informasi bermanfaat. Sampai jumpa dalam artikel selanjutnya.

Wassalamuálaikum warahmatullahiwabarakaatuh

Agrawal, R., Budania, S., P, S., Gupta, R., & DK, K. (2007). Zero prevalence of diabetes in camel milk consuming Raica. Diabetes Research and Clinical Practice, 290-6.

Al-Ayadhi, L., Halepoto, D., AL-Dress, A., Mitwali, Y., & Zainah, R. (2015). Behavioral Benefits of Camel Milk in Subjects with Autism Spectrum Disorder. Journal of the College of Physicians and Surgeons, 819-23.

Alebie, G., Yohannes, S., & Worku, A. (2017). Therapeutic Applications of Camel’s Milk and Urine against Cancer:. Journal of Cancer and Science Therapy, 468-78.

Dienstag, J. (2010). Acute Viral Hepatitis. In D. Kasper, & A. Fauci, Harrison’s Infectious Diseases (pp. 893-938). New York: The McGraw-Hill Companies, Inc.

Fallah, Z., Ejtahed, H.-S., Mirmiran, P., Niasari Naslaji, A., Moosavi Movahedi, A., Eslami, F., et al. (2017). Effect of Camel Milk on Glycemic Control and Lipid Profiles. Iranian Journal of Endocrinology and Metabolism, 306.

Gader, A., & AA, A. (2016). The Unique Medicinal Properties of Camel Products: A Review of The Scientific Evidence. Journal of Taibah University Medical Sciences, 98-103.

KASPER, D., & FAUCI, A. (2010). In Harrison’s Infectious Disease (pp. 792-886). New York: The McGraw-Hill Companies, Inc.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. ( 2015). Pedoman Nasional Penanganan Infeksi Menular Seksual. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2017). Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2016. Jakarta: Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Public Health Agency of Canada. (2012). HIV TRANSMISSION RISK: A Summary of The Evidence. Public Health Agency of Canada.

Shabo, Y., Barzel, R., Margoulis, M., & Yagil, R. (2005). Camel Milk for Food Allergies in Children. Immunology and Allergies Journal, 796-8.